TjMRlr4CceqlrtkB0Ce0BnkM2b5IZCPJzobEJ1si
Bookmark

Apa Kabar Mahasiswa, Gagasan, Peradaban, dan Tuhan

 

Mahasiswa - Apologi

*Disclaimer: Mohon maaf jika anda tersinggung atas tulisan opini keresahan pribadi ini, saya menyarankan untuk anda yang baperan berhenti pada sesi ini dan tidak melanjutkannya.

Tulisan ini lebih banyak mengandung opini-opini pribadi saya, Yusuf Rhamadan, daripada fakta dan data. Bukan berarti saya menanggalkan kaidah keilmiahan atau hendak menuliskan tulisan ber-genre fiksi, namun memang representasi keliaran dalam berpikir saja.

Mahasiswa, yang Ga Maha-Maha Banget

Saya ingat betul bagaimana pertama kali menyaksikan sebuah teatrikal seorang aktivis yang tengah berorasi. 2018, saat ospek penyambutan mahasiswa baru, dan kami dibentak-bentak oleh senior-senior lembaga eksekutif yang katanya memperjuangkan keadilan. Barangkali waktu itu otak saya belum terlalu matang, dan kedewasaan belum tumbuh dalam diri saya, sehingga sulit membedakan mana yang pertunjukan parodi dan bukan. Ya, namanya manusia yang tengah mencari, mencari jalan, mencari contoh dan tauladan. Hingga membawa saya pada pengalaman-pengalaman yang justru banyak memberikan saya rasa kekecewaan dan penyesalan. Namun tidak menjadi persoalan lagi hari ini, no time for crying over spilt milk!

Hari ke hari pemetaan mahasiswa terlintas di benak saya. Ada yang kuliah pulang - kuliah pulang (kupu-kupu), kuliah rapat - kuliah rapat (kura-kura), kuliah - nongki, kuliah - open bo, kuliah - seminar, kuliah - prestasi, kuliah - dakwah, dan pelbagai spesies-spesies mahasiswa lainnya. Lantas tersirat dalam pikiran saya yang dangkal, apa sebenarnya tujuan dari pendidikan tinggi itu sendiri, atau apa sebenarnya tujuan dari pendidikan? Pendidikan tinggi merupakan salah satu jenjang dari pendidikan formal. Masih ada pendidikan non-formal, dan informal yang lebih long-life (pendidikan prenatal, postnatal, keluarga, masyarakat, dsb.). Banyak pakar yang merumuskan tujuan daripada pendidikan itu sendiri adalah kedewasaan, kebahagiaan, pengembangan potensi diri, dan kemerdekaan. Semuanya berpusat pada individu masing-masing. Jadi jika ditelaah lebih dalam lagi, pendidikan termasuk pendidikan tinggi sejatinya kembali pada masing-masing diri sendiri. Lalu buat apa sebenarnya kita teriak-teriak di jalanan?

Dari awal masuk, saya sudah dicekoki dengan doktrin-doktrin bak zak adiktif yang terus menggema dalam otak kecil saya. Bahwasanya mahasiswa adalah agent of change, social control, moral force, dan tetek bengek tai kucing semacamnya. Namun hingga hari ini, barulah saya sadari semua itu semata hanya bualan belaka, bualan para badut-badut yang melegitimasi dirinya sebagai aktivis kampus pejuang keadilan. Ya, orang-orang ini lebih layak disebut hipokrit akut yang entah mengapa, tidak pernah sadar bahwa dosa-dosa mencekoki dengan kemunafikan lebih hina daripada dengan miras. Pendidikan dan pendidikan tinggi sejatinya untuk diri pribadi manusia, dan prioritas homo-social menjadi nomor dua. 'Maha' yang tersemat pada mahasiswa merujuk pada besarnya tanggung jawab yang ia emban. Responbility atau tanggung jawab menjadi perilaku utama yang membadakan manusia dewasa. Selalu saja kita diajarkan sebagai mahasiswa untuk mempertanggung jawabkan setiap ucapan dan perbuatan, tentu saja dengan kaidah keilmiahan, dengan kevalidan, dengan penelitian. Inilah poin pentingnya, dan hal ini yang semestinya ditanamkan pada mereka, para remaja yang mencoba mentransformasi ke arah dewasa melalui jalan pendidikan tinggi.

Laboratorium Pengembang Peradaban dan Produk-Produk Kemunduran

Belum puas sebenarnya menuliskan caci maki terhadap mahasiswa. Masih banyak kedangkalan-kedangkalan yang belum terulas, namun coba kita lihat bagaimana fenomena PTN-BH yang baru-baru ini didapat oleh kampus negeri di Semarang. Jika ditanya bagaimana pendapat pribadi? Maka jawab saya, tidak perduli. 

Avocado - Apologi
Pada suatu momen, saya memesan jus alpukat di sebuah tempat makan di Klaten. Jus alpukat, dengan harga Rp11.000,00. Entah kebiasaan otak saya yang aneh atau bagaimana, tiba-tiba timbul pertanyaan mengapa harganya 11.000, dan mengapa harganya naik? Tentu saja siapapun bisa memahaminya bahwa buah alpukat yang harganya lebih murah sudah mengalami beberapa proses hingga menjadi jus ini. Dan tentu saja mempengaruhi value atau nilai dari barang ini. Begitupun dengan manusia. Setelah mengalami beberapa proses mengenyam pendidikan formal, tentu mengalami perubahan nilai pada dirinya. Nilai dari lulusan SMA jelas berbeda daripada lulusan S1. Semakin mahal, jelas sekali, karena kompetensi dan skill yang dimiliki juga berbeda. Kemudian muncul pertanyaan lagi, bagaimana supaya mendapatkan harga lulusan S1 yang terjangkau jika saya menjadi seorang pengusaha?

Jika terdapat sebuah produk, dimana satu produk edisi terbatas yang hanya dibuat 100 buah saja, dengan satu produk yang dibuat puluhan ribu buah, tentu orang-orang bisa menilai mana harganya yang lebih terjangkau. Dengan memproduksi banyak produk maka nilai dari produk tersebut akan semakin turun. Begitupun dengan mahasiswa, jika saya ingin mendapatkan harga lulusan S1 yang terjangkau, saya harus menambah kapasitas pabrik-pabrik penghasilnya, yaitu 'kampus'. Namun, berdasarkan konstitusi dasar negara ini, minimal 20% APBN untuk pendidikan sudah terlalu sempit dan belum mampu mendongkrak angka partisipasi di pendidikan tinggi. Jika anggara di sektor pendidikan dasar dan menengah dikurangi, tentu itu bukan solusi. Dampaknya justru menurunkan lagi angka partisipasi nya. Lantas bagaimana? Biarkan kampus mencari uang sendiri, dan meningkatkan nilai jual mereka melalui reputasi dan akreditasi. Maka terlahirlah sebuah skema gila dimana pendidikan menjadi jasa yang diperjual belikan.

2005 dalam KTM World Trade Organization di Hongkong menyepakati pendidikan masuk pada jasa yang diperjual belikan atau GATS (General Agreement of Trade and Service). Produk-produknya terlihat nyata saat ini yaitu PTN-BH, BAN PT, Times Higher Education, Merdeka Belajar, dan regulasi-regulasi pendukungnya. Jika kekhawatiran mahasiswa adalah naiknya ukt karena PTN-BH, maka itu adalah kekhawatiran dangkal dari mereka yang mengesampingkan riset dan penelitian. UKT sebagaimana ditentukan oleh BKT setelah disubsidi oleh BOPT (Biaya Operasional Pendidikan Tinggi), tidak dipengaruhi oleh otonomi kampus dalam mengelola keuangan. Aspek-aspek yang mempengaruhi BKT sebagaimana tersurat dalam lampiran Permendikbud No. 25 Tahun 2020 ialah rumpun ilmu pengetahuan, akreditasi, dan kemahalan wilayah. Entah itu Kampus Satker, BLU, maupun BH, tidak memberikan pengaruh pada besaran BKT. Namun ia memberikan pengaruh pada BOPT yang terdapat dana hasil usaha dimana apabila usaha tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya tentu akan memberatkan UKT. Redaksi yang lebih tepat tentu saja UKT yang mahal, bukan kenaikan UKT. Sekali lagi, kenaikan UKT tidak lebih dari logical fallacy atau sesat pikir semata. Memangnya UKT naik dari berapa ke berapa?

BKT = UKT - BOPT
(Lihat pada Permendikbud No. 25 Tahun 2020)

Lantas, kekhawatiran apa yang mestinya diperhatikan oleh mahasiswa? Mengapa mahasiswa harus khawatir? Ada beberapa faktor yang mengapa lebih bijak jika isu ini tidak terlalu diperhatikan. Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009 merupakan hasil perjuangan bertahun-tahun oleh pakar, praktisi, dosen, guru besar, dan semua elemen yang peduli pendidikan saat itu. Dimana mereka saat ini, saat PTN-BH kembali dimunculkan pada UU No. 12 Tahun 2012 dan bertahan hingga 2022? Apakah mereka pura-pura buta, tuli, dan bisu? Atau jangan-jangan mereka sudah damai dengan dirinya masing-masing dan sepakat bahwa ideologi ekonomi yang relevan diterapkan saat ini memang neo-liberalisme? Neo-liberalisme yang merupakan usaha melepas pengaruh negara terhadap pasar merupakan gagasan kapital yang saat ini menjamur diberbagai belahan dunia. Jika berkaca pada sejarah, antitesis dari gagasan ini tentu saja marxisme-komunisme, dimana tidak ada kepemilikan dan keseluruhan aset ekonomi dipegang negara. Namun gagasan itu hampir mendekati titik utopis. Pasca cold war dan runtuhnya Uni Soviet, ide-ide seperti ini dianggap tidak relevan, mustahil, dan menghambat kemajuan. Oleh karenanya, apa yang bisa kita perbuat terhadap PTN-BH? Bisakah kita membawa keluar Indonesia dari ikatan organisasi ekonomi global seperti WTO? IMF? World Bank? Manusia itu terbatas bro!

Menghamba Pengetahuan, Melampaui Tuhan

Jika Nietzsche berkata "Gott ist Tot", atau Tuhan telah mati, maka benarlah hari ini terjadi. Agama, Filsafat, dan Ideologi sudah semestinya menjadi tiga kesatuan yang menyeimbangkan. Namun manusia melampaui batas hari ini. Laboratorium pengembang peradaban yang berisi intelektual publik dengan peran-perannya, kini bagaikan sebuah istana besar dengan pagar besi tinggi. Fokus para intelektual kini memegahkan istana mereka masing-masing, dan menutup diri dari permasalahan yang ada para rakyat jelata, rakyat miskin kota. Menulis, meningkatkan akreditasi, mendongkrak reputasi, dan tidak peduli. Sekalinya keluar, dia akan menunjukkan seorang raja dengan mahkota emas, dan tongkat kuasa seorang diktatur. Korupsi, kolusi, nepotisme, penggusuran, penyelewengan, mereka buah dari apa yang disebut dengan kampus. Lantas peradaban apa yang sejatinya dikembangkan?

Jika ada hari ini mereka yang benar-benar mencipta pembaharuan, mereka tidak lain adalah orang-orang yang hendak melampaui Tuhan. Menciptakan robot, kecerdasan dan kesadaran buatan, menemukan planet alternatif dan membuang bumi, sungguh ironi. Intelektual publik kini telah hilang, tenggelam kearah gelap paling dalam. Paradigma manusia hari ini terpusat pada uang, dan acap kali menghalalkan banyak cara untuk meraihnya. Inilah produk-produk dari peradaban hari ini. Kampus, mahasiswa, akademisi, dosen, pakar, praktisi, guru besar, sistem ini hanya contoh produk dari ideologi tersebut di ranah pendidikan. Neoliberalisme pendidikan hanya satu dari produk dari neoliberalisme yang sudah mengalir di nadi kehidupan manusia dan negara. Fashion, lifestyle, kesehatan, makanan, dan dunia hiburan, skemanya sama semua.

Pada akhirnya, manusia akan menuai apa yang ia tanam. Jika memang keburukan yang ia tanam, maka kehancuran yang ia panen. Saya rasa sudah waktunya mengamini bahwa kita menuju kehancuran, mendekat, dan mempercepat kiamat. Sebagai manusia biasa dengan banyak kekurangan dan keterbatasan, apa yang mestinya kita perbuat? Merry go round of life!

Posting Komentar

Posting Komentar